DAFTAR
ISI BAB 3 MILITER DAN POLITIK
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang ................................................................................. 1
Rumusan
Masalah............................................................................. 2
Hipotesa
........................................................................................... 2
Landasan
Teori ................................................................................. 2
ISI
Revolusi Kebudayaan....................................................................... 4
Ketertiban Militer dalam Revolusi Kebudayaan .............................. 6
Analisa Militer................................................................................... 7
1.1
Peluang ………………………………………………….. 8
1.2
Modal dan Mood ………………………………………… 11
PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 15
BAB III MILITER DAN POLITIK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan militer dan sipil merupakan suatu
permasalahan klasik di beberapa negara, terutama di negara yang rapuh dimana
kondisi sosial, ekonomi dan politiknya cenderung tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan
sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan negaranya, militer cenderung
untuk masuk dalam politik demi menstabilkan pemerintahan yang berkuasa dan
membentuk pemerintahan militer hingga saat ini. Kondisi yang sama juga terjadi
di Argentina dimana militer menjatuhkan Presiden Frondizi dan membentuk
pemerintahan sementara di bawah kekuasaannya. Contoh lain yang lebih
kontemporer adalah apa yang kita saksikan baru-baru ini di Madagaskar dimana
presiden Marc Ravalomanana yang terpilih Desember 2006 dipaksa turun setelah
militer melakukan kudeta dengan mengambil alih istana negara pada 16 Maret 2009.
Republik Rakyat China adalah negara dengan
populasi terbesar di dunia dan salah satu negara terluas di dunia dengan total
luas wilayah mencapai 9,596,960
km2 .
Tentunya RRC memiliki jumlah personil militer terbesar di dunia untuk
mengimbangi jumlah populasi dan luas wilayahnya[1]. Meskipun memiliki jumlah penduduk sipil
dan personil militer yang sangat banyak, China merupakan suatu negara dengan
kondisi yang cenderung stabil. Bahkan dapat dikatakan militer hampir tidak
pernah melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Mereka cenderung
profesional dan lebih sibuk dengan kegiatan internnya daripada mengurusi
permasalahan politik China. Tidak heran jika kemudian militer China merupakan
salah satu yang terkuat di dunia.[2]
Namun hal ini bukan berarti militer tidak pernah terjun dalam dunia politik.
Salah satu masa dimana militer terjun dan bahkan terlibat aktif dalam politik
adalah ketika terjadi Revolusi Kebudayaan di era mao Zedong. Saat itu Mao,
dengan pemerintahannya yang semakin melemah, memutuskan untuk memasukkan
militer untuk mendukung pasukan merahnya dalam memberantas para penentang
pemerintah. Dalam kekacauan tersebut, militer akhirnya berhasil mengambil alih
hampir semua pemerintahan di daerah, menguasai sistem komunikasi partai di
seluruh China, menduduki 50% kursi di politburo dan bahkan mengurusi masalah
sosial dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, hal ini tidak mendorong
militer untuk mengambil alih pemerintahan sipil secara keseluruhan yang saat
itu melemah akibat tentangan dari berbagai pihak. Pertanyaan ini lah yang akan
kami coba analisa dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Mengapa militer tidak mengambil kesempatan
untuk mengambil alih pemerintahan disaat Revolusi Kebudayaan berlangsung?
C. Hipotesa
Keteguhan
militer China untuk tidak mengambil kesempatan mengambil alih pemerintahan
disaat Revolusi Kebudayaan berlangsung disebabkan oleh adanya kontrol partai
yang ketat tidak hanya terhadap militer tetapi juga terhadap semua aspek sosial
masyarakat China. Selain itu dari sisi militer sendiri, militer China termasuk
militer profesional dan memagang teguh prinsip civil supremacy.
D. Landasan Teori
Untuk mempermudah analisa kami menggunakan dua teori. Pertama
adalah teori Finner yang melihat bahwa kudeta militer disebabkan oleh adanya
dua faktor yaitu motif (agen) dan peluang (struktur). Kedua adalah teori
mengenai budaya politik civil supremacy. Teori ini menjelaskan bahwa
profesionalisme sendiri tidak cukup untuk menjaga militer untuk tidak
intervensi dalam politik. Militer bagaimanapun harus menganut prinsip civil
supremacy dimana militer tunduk pada pemerintahan sipil. Sapin dan Snyder
mendefinisikan civil supremacy sebagai ”both formally and effecttively,
the major policies and programmes of government..should be decided by the
nation’s politically responsible civilian leaders.”[3]
atau dalam istilah umum masyarakat Amerika Serikat ”national policy dictated
millitary policy”. Selain itu kami juga mempertimbangkan “kesepakatan umum”
di kalangan akademisi bahwa negara
dengan sistem komunis jarang mengalami kudeta militer karena penguasaan partai
terhadap militer.
ISI
A. Revolusi Kebudayaan
Akar bencana besar bangsa China ini
sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1950-an dimana Mao menerapkan apa yang
disebut sebagai kebijakan ”Lompatan Jauh ke Depan” (Great Leap Forward).
Kebijakan ini merupakan istilah lain dari cara cepat modernisasi ala Mao dengan
slogannya yang terkenal ”berjalan diatas dua kaki” dan ”kemandirian pembangunan
bersama industri dan pertanian”.[4]
Dibawah kebijakan ini, masyarakat China dimobilisasi untuk menghasilkan
produksi sebanyak-banyaknya baik dalam hal pertanian maupun industri. Namun
tekanan ini justru membuat masyarakat memanipulasi hasil hanya untuk mengejar
target. Tidak heran jumlah yang dicapai jauh lebih rendah daripada angka yang
dilaporkan. Selain itu, kualitas produksi juga terabaikan. Masyarakat China
sendiri banyak yang menderita akibat kerja yang berlebihan terutama saat
terjadi musim kemarau yang menyebabkan gagal panen dimana-mana. Kondisi yang
memprihatinkan ini menimbulkan ekonomi negara kacau dan legitimasi Mao sebagai
penggagas kebijakan semakin menurun. Dalam pemerintahan sendiri, telah muncul
beberapa pejabat yang mulai berani mengkritik kebijakan Mao ini. Namun sayang,
tindakan mereka selalu harus berakhir dengan pemecatan. Meskipun demikian,
peristiwa pemecatan ini justru semakin mendorong banyak pihak untuk lebih vokal
menentang Mao. Akibatnya Mao mau tidak mau harus melakukan sesuatu untuk
mengamankan posisinya. Terjadilah apa yang kita kenal dengan revolusi
kebudayaan. Sebuah peristiwa terbesar yang mewarnai sejarah Cina pasca revolusi
1949.
Revolusi kebudayaan, menurut sebagian
akademisi merupakan cara Mao untuk mengamankan legitimasinya yang tererosi
setelah program Great Leap Forward tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Seluruh pemimpin Partai Komunis Cina (PKC) pada dasarnya
berpendapat bahwa Great Leap Forward kurang begitu berhasil, tetapi terdapat
perbedaan pandangan mengenai hasil dari program besar tersebut. Mao, masih
dengan pandangan radikalnya melihat bahwa Great Leap Forward membawa
Cina jauh dari sosialisme dan mendekati kapitalisme. Hal ini awalnya terlihat
pada tataran desa yang setelah mengenal industri menjadi sangat ekspansionis
dan materialistis. Sisi kapitalis muncul bukan dari pemodal karena pada
dasarnya tidak ada kelas pemodal atau borjuis, tetapi berasal dari aparat desa
dan kader partai yang memanfaatkan Great Leap Forward untuk membangun kekayaan yang pada akhirnya memicu terjadinya
penindasan bagi kaum petani dan pekerja. Mao melihat hal ini disebabkan oleh lemahnya
moral kader PKC yang kebanyakan masuk PKC hanya untuk mendapatkan privileges
seperti akses ke jabatan[5].
Di
sisi lain pemimpin PKC yang lain terutama Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping melihat
bahwa kegagalan Great Leap Forward menunjukan bahwa sosialisme orthodox
yang dipegang oleh Mao tidak bisa lagi dipertahankan. Untuk itu diperlukan revisionisme
seperti yang dilakukan Uni Soviet. Ide inilah yang sangat ditentang Mao, bukan
hanya karena tidak sesuai dengan ide Mao tetapi revisionisme juga akan
berpengaruh pada legitimasi Mao dan pada akhirnya dapat menurunkan Mao dari
kekuasaan. Itulah kenapa Mao kemudia meluncurkan Revolusi Kebudayaan
Proletarian.
Dalam revolusi kebudayaan, Mao melihat PKC
tidak dapat sepenuhnya dijadikan sumber legitimasi karena terdapat kubu Liu
Shaoqi dan Deng Xiaoping disana, untuk itu dia beralih pada sumber legitimasi
lain. Sumber tersebut antara lain militer, intelektual radikal, dan tentunya
pelajar sekolah. Ketiga sumber kekuatan tersebut dimobilisasi oleh Mao untuk
menjalankan Revolusi Kebudayaan dengan tujuan utama membersihkan PKC dari
kelompok revisionisme.
Peristiwa ini terjadi ketika Mao
memobilisasi sekitar 11 juta anak sekolah berumur sembilan hingga delapan belas
tahun dari berbagai sekolah di seluruh China untuk melakukan satu tugas:
memperlihatkan, mengkritik dan menyingkirkan apa yang mereka sebut sebagai kaum
burjois dan antirevolusi- termasuk para pemimpin partai yang memiliki perbedaan
visi dengan Mao. Pasukan yang dikenal dengan Red Guards ini turun ke jalan dan
menghancurkan banyak fasilitas. Para pemimpin partai yang merasa kekuasaannya
ditentang oleh sekumpulan remaja mencoba membentuk kekuatan saingan dari para
sekutunya. Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Demi menghindari keadaan
yang lebih buruk, Mao meminta Red Army untuk mengambil alih pemerintahan
daerah dengan bantuan militer. Namun ternyata penguasaan ini membuat munculnya
persaingan diantara para pasukan Mao itu sendiri. Berbagai kekerasan yang
terjadi akhirnya membuat Mao meminta militer untuk menstabilkan keadaan dan
mengambil alih pemerintahan daerah. Revolusi berakhir dan anak-anak sekolah
dikirim ke komune-komune desa atau bekerja dalam kegiatan produksi-konstruksi
dibawah perintah militer.[6]
B. Keterlibatan Militer dalam Revolusi
Kebudayaan[7]
Pada awal munculnya cikal bakal revolusi, yaitu
ketika kritik terhadap Mao semakin vokal, militer masih teguh untuk tidak ikut
campur dalam keributan tersebut. Bahkan Mao membuat kampanye ”belajar dari PLA”
untuk memuji tindakan militer tersebut. Mao sendiri merasa tidak perlu
mengikutsertakan militer untuk menghadapi permasalahan ini. Meskipun demikian,
kondisi domestik yang semakin memburuk membuat Mao akhirnya menarik militer
untuk membantunya dibawah kebijakan ”three supports and two militaries”.
Kebijakan ini berarti militer harus memberikan dukungan kepada kelompok kiri
untuk mengambil alih kekuasaan dari kelompok kanan yang berupaya mengubah
pemerintahan ke arah kapitalisme, menjaga tatanan sosial dan stabilitas negara
saat revolusi, membantu produksi pertanian dan industri, serta memberikan
pelatihan militer kepada siswa dan mahasiswa. Secara lebih detail, implementasi
kebijakan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada tahun 1966, Mao yang telah kehilangan
anyak aliansi politiknya, akhirnya membentuk pasukan merah yang terdiri dari
anak sekolah seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Namun,
dikarenakan pasukan ini sangat tidak terorganisir dengan baik dan kurang
berpengalaman terutama jika harus melawan para petinggi partai (win over the
majority), Mao akhirnya memutuskan untuk memasukkan militer untuk membantu
para remaja tersebut dengan memberikan pelatihan militer kepada pasukannya di
sekolah-sekolah di seluruh China. Sampai di titik ini, status quo politik China
masih tetap terjaga. Hal ini disebabkan kegiatan pelatihan yang dilakukan masih
berada dalam kerangka kegiatan militer. Selain itu, kegiatan ini diawasi ketat
oleh komite partai yang ditunjuk oleh pusat.
Di tahun 1967, kondisi China dapat
dikatakan mencapai titik kritis. Para petinggi partai yang merasa terancam
degan gerakan ini mencoba melakukan perlawanan yang mengakibatkan terjadinya
banyak kekerasan di jalan-jalan. Demi mengamankan situasi, Mao mengeluarkan
perintah agar militer mengambil alih sistem komunikasi partai di semua
provinsi. Ini lah pertama kalinya militer menguasai sistem kontrol politik di
seluruh China dan, untuk beberapa hal, militer berada superior diatas partai.
Tidak hanya itu, tanggal 21 Januari pemerintah mengeluarkan perintah agar
militer membantu gerakan pasukkan merah dalam menjalankan tugasnya. Sejak saat
itu, militer ikut memerangi para anggota partai dan kelompok sipil yang
menentang dan bahkan mengambil alih kekuasaan di semua provinsi sesuai dengan
perintah yang dikeluarkan saat itu. Militer, pasukan merah, dan anggota partai
yang masih setia, membentuk pemeritahan provinsi yang kemudian dikenal dengan
”tripple alliances”. Saat itu, jumlah militer yang diturunkan telah mencapai
2,8 juta anggota. Selain itu, statistik menunjukkan militer menguasai 80 persen
puncak kepemimpinan pemerintah daerah dan partai di tingkat provinsi. Di
tingkat lebih bawah lagi, militer menguasai posisi yang yang sama dalam
presentase 78-98 persen. Bahkan militer turut menduduki 50 persen kursi di
Politburo dan Komite Sentral.[8]
Dapat dikatakan, memang saat revolusi kebudayaan adalah saat dimana militer
benar-benar menguasai perpolitikan China.
C. Analisa military obedience
Dengan posisi militer yang telah menguasai
seluruh provinsi di China dan bahkan sebagian besar kursi di pemerintahan,
sangat mengherankan jika militer masih tetap berpegang pada profesionalismenya.
Terlebih saat itu pemerintahan sipil dibawah Mao dapat dikatakan telah gagal
mengatasi permasalahan politik dan ekonomi China. Bagian ini mencoba
menganalisa alasan militer untuk tetap pada profesionalismenya dan tidak
mengambil alih pemerintah nasional seperti yang akan diduga banyak orang saat
itu.
1. Peluang
Seperti telah dijelaskan secara sekilas
dalam bab pendahuluan, analisa pertama akan dilihat dari teori Finner yang
meyatakan intervensi militer dalam politik didorong oleh dua faktor yaitu
struktur (peluang) dan agen (motivasi dan mood). Menurut Finner, peluang
militer untuk melakukan intervensi menjadi semakin terbuka lebar delam beberapa
kondisi, yaitu meningkatnya ketergantungan sipil terhadap militer seperti
misalnya ketika kondisi dalam negeri kacau (krisis politik) atau justru ketika
terjadi vacuum of power, dan semakin meningkatnya popularitas militer. Jika
dilihat sekilas, memang militer China saat itu memiliki peluang seperti yang
disebutkan Finner. Saat itu China semakin tergantung dengan militer dan
popularitasnya meningkat. Meskipun demikian, peluang yang terbuka lebar ini
tidak kemudian membuat militer langsung bisa mengambil alih kekuuasaan.
Terdapat hal yang tidak disebutkan Finner yang membuat militer kurang bisa
melakukan intervensi di China maupun di negara komunis lainnya, yaitu kontrol
partai terhadap militer. Kontrol partai ini terdapat dalam organisasi maupun
ketika revolusi kebudayaan berlangsung.
Kontrol partai dalam organisasi militer
sangat ketat dan menyeluruh. Seperti kita ketahui, komandan tertinggi militer
China adalah ketua PKC itu sendiri. Ketua ini mengontrol militer melalui apa
yang disebut sebagai Central Military Commission. CMC ini mengontrol
militer secara politik, militer dan administratif. Dibawahnya, terdapat General
Political Department (GPD) yang bertugas mengawasi komite partai dan komisarisnya
di setiap level daerah. Perlu dicatat, di setiap level militer selalu terdapat
komite dan komisaris partai yang bertugas mengawasi militer di level tersebut. Dengan
sistem seperti ini, tidak heran ruang gerak militer sangat terbatas. Terlebih
sebelum revolusi kebudayaan berlangsung, pemerintah telah mengeluarkan
peraturan bahwa militer di daerah harus bertindak sebagai staf ataupun asisten
bagi para komite partai. Peraturan ini tentu saja telah menumbuhkan mindset
bagi militer agar selalu tunduk pada pemimpin sipil.
Selain secara organisasi, partai juga
mengontrol militer ketika revolusi kebudayaan berlangsung. Meskipun Mao
terkesan ”terlalu berani” ketika memasukkan militer dalam pasukannya dalam
jumlah dan peran yang besar, Mao tetap sadar untuk selalu berhati-hati. Ketika
militer diterjunkan untuk membantu memberikan pelatihan militer kepada para
pasukannya dan dalam kegiatan sosial politik lainnya, Mao selalu menempatkan
komite partai untuk mengawasi kegiatan militer tersebut. Hal ini untuk
mengantisipasi penyelewengan militer sehingga militer tetap berada di dalam tracknya.
Ketika militer pada akhirnya mengambil alih semua pemerintahan provinsi,
militer dilarang membentuk kekuatan apapun dalam pemerintahan baru tersebut
tanpa persetujuan pemerintah pusat. Ketika revolusi berakhir, Mao langsung
mengeluarkan peraturan untuk menekan otoritas legal militer dalam pemerintahan.
Bahkan Mao akan menghukum pemimpin militer di daerah dengan menghapuskan
kedudukannya dalam pemerintahan. Kontrol penuh Mao dan partai selama revolusi
ini lah yang menjaga revolusi berjalan sesuai rencana dan militer tetap berada
pada tempatnya semula.
Terlebih, yang perlu diketahui, militer
yang terlibat dalam revolusi ini adalah militer tingkat provinsi. Para
pemimpinnya di tingkat pusat tidak ikut campur. Hal ini dilakukan agar tugas
utama militer dalam bidang pertahanan tidak terbengkelai. Selain itu, tidak
dibutuhkan semua elemen militer untuk melawan anggota partai yang tidak memiliki
senjata. Meskipun demikian para pemimpin militer di tingkat pusat tetap
memberikan dukungan pada Mao karena memang mereka biasanya adalah orang-orang
yang dipilih oleh partai dan Mao sendiri dan merasa dipanggil oleh ”manifest
desitiny”nya untuk mengamankan negara dalam keadaan chaos.
Selain mengontrol militer, partai juga
mengontrol hampir semua aspek dan tataran sosial masyarakat. Hal ini semakin
mempersempit peluang militer untuk bisa mengambil alih kekuasaan. Pertama,
massa pekerja dan petani yang telah diorganisir oleh PKC dalam commune sehingga dapat dikontrol
secara efektif sejak tahun 50an. Setiap commune
terdiri dari 1600 rumah tangga dan memiliki kontrol ketat dan saling
terintegrasi antara petani (agrikultur) dan pekerja (industry)[9].
Kekuatan ini sangatlah besar dan relatif militan mengingat sebagian
besar masyarakat Cina adalah petani dan pekerja yang jumlahnya di tahun 1954
mencapai 450 juta jiwa[10]. Tentu ini adalah jumlah yang sangat luar
biasa dan cukup sulit bagi militer untuk mengambil alih mengingat kuatnya
pengaruh PKC dalam commune.
Selain pekerja dan petani yang tergabung
dalam commune, militer juga masih harus berhadapan dengan pendukung PKC
yang cukup loyal. Sebagian besar dari mereka berasal dari golongan petani yang
diuntungkan oleh program land reform yang dijalankan Mao pada awal
kemerdekaan RRC[11]. Selain itu kader PKC aktif datang ke
pedesaan untuk melakukan sosialisasi program PKC sekaligus melakukan penyuluhan mengenai cara bercocok
tanam yang modern. Jika commune bekerja di wilayah sub-urban maka
program land reform dan sosialisasi kader PKC ini lebih menyentuh level rural.
PKC memang sejak awal berusaha untuk menjadi partai yang dekat dengan petani,
hal ini sesuai dengan strategi perang Mao yaitu desa mengepung kota. Bahkan
sebagian kader PKC berasal dari pedesaan, di tataran mahasiswa PKC juga lebih
populer di mata mahasiswa yang berasal dari desa daripada yang berasal dari
kota. [12]
PKC menyadari bahwa masyarakat urban
kurang begitu suka dengan PKC, untuk itulah sejak masa Great Leap Forward
PKC terus menerus melakukan de-urbanisasi dengan mendorong pekerja kota untuk bekerja di wilayah
pedesaan[13]. Program ini tidak begitu berhasil di
kota-kota besar yang memang masih sangat menjanjikan, tetapi program ini telah
berhasil mendekatkan sebagian pekerja dengan wilayah pedesaan, salah satunya
saat masa menghalau hama burung dan belalang. Hal ini menyebabkan loyalitas
mereka yang semakin tinggi terhadap PKC yang dianggap telah menyelamatkan
petani.
Aspek lain yang mengurangi peluang militer
untuk mengambil alih kekuasaan adalah karisma Mao di mata masyarakat dan
politisi. Menurut teori Weber mengenai tiga sumber legitimasi, kharisma adalah
salah satu sumber legitimasi yang penting. Bahkan Weber menyatakan bahwa
pemerintahan birokratik rasional terkadang mengecewakan dan posisnya akan
dipulihnkan oleh adanya pemimpin yang karismatik.[14]
Dan Mao Zedong adalah salah satu pemimpin yang karismatik tersebut. Meskipun
banyak kritik terhadap Mao yang membuatnya semakin terpojok saat mejelang revolusi,
Mao masih mendapatkan dukungan dari para petinggi yang memiliki kedudukan
sentral. Mao juga masih bisa mengendalikan partai dalam keadaan terpecah belah
seperti yang terjadi dalam revolusi. Chairman Mao dipandang sebagai pendiri dan
sesepuh RRC sehingga memiliki legitimasi yang cukup tinggi.
Dengan kondisi seperti itu, usaha untuk
mendapatkan kekuasaan dengan menggulingkan Mao terlihat kurang begitu
menguntungkan karena akan sulit untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaan
RRC. Itulah mengapa pemimpin seperti Zhou Enlai, Liu Shaoqi, dan juga militer
lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada Mao dan berharap akan mendapatkan
jatah kekuasaan yang tentunya jauh lebih legitimate daripada merebut kekuasaan dari Mao.
Fakta-fakta diatas menunjukan bahwa
kesempatan militer untuk mengambil alih kekuasaan sangatlah kecil, selain itu
jikapun militer telah mengambil alih kekuasaan mereka akan mengalami kesulitan
besar pada masalah legitimasi mengingat besarnya peran PKC dan juga kharisma
Mao.
2. Motif dan Mood
Faktor
penentu kedua dalam teori Finner adalah motif dan mood. Motif
didefinisikan sebagai ”self consiousness” dari diri militer itu sendiri baik
untuk melakukan intervensi maupun untuk tidak melakukan intervensi. Faktor
motif yang membuat militer untuk tidak ikut campur dalam politik atau bahkan
mengambil alih kekuasaan adalah profesionalisme dan budaya civil supremacy. Dalam
hal profesionalisme, militer China terkenal sebagai militer yang tangguh dengan
para jendralnya yang patuh terhadap pemimpin China. Sepanjang sejarah negara
tersebut, terdapat dua kecenderungan yang sangat mempengaruhi kehidupan militer
China, yaitu pada saat damai dan pada kondisi perang atau bergejolak
(upheaval).[15]
Pada saat damai, militer sangat tunduk pada pemerintahan sipil. Militer China
dapat mengatasi baik pemberontakan dalam negeri maupun invasi asing tanpa
mengancam kontrol sipil dalam sistem politiknya. Ketika kondisi berubah menjadi
situasi chaos, militer menentang pemerintahan yang gagal tersebut dan mendorong
pemerintahan baru untuk bisa menstabilkan keadaan. Setelah keadaan dapat
dikontrol dan pemerintahan telah menguat kembali, militer kembali lagi ke
barak. Kecenderungan baru muncul terutama sejak 150 tahun yang lalu dengan
dikenalkannya teknologi baru dalam organisasi militer. Dengan begitu, militer
China semakin kuat dan modern sepanjang perkembangan sejarahnya.
Ketiga kecenderungan militer China diatas
dapat dianalisa melalui kacamata Huntington mengenai ciri militer profesional,
yaitu keahlian, tanggung jawab sosial dan corporate loyalty. Sisi
keahlian atau expertise merupakan syarat awal seseorang dapat disebut
profesional yaitu dengan memiliki keahlian khusus dan spesifik mengenai bidang
yang dikerjakannya. PLA pada awalnya memang tentara pendukung Mao dalam perang
saudara di China, pada waktu itu PLA tidak dapat disebut memiliki keahlian
karena memang tidak secara spesifik dilatih dan diorganisir. Tetapi setelah
tahun 1949, PLA dibangun dengan bantuan militer Uni Soviet agar menjadi militer
yang efektif, efisien, dan mampu mengatasi segala masalah baik di dalam negeri
maupun di luar negeri.
Dari sisi tanggung jawab sosial atau social
responsibility, militer China telah menunjukan hal ini melalui tunduknya
dia terhadap pemimpin sipil yang dalam kasus Revolusi Kebudayaan adalah Mao
Zedong. Contoh lain dari tanggung jawab sosial PLA adalah dengan menuruti
perintah Mao agar militer memimpin pemerintahan di daerah-daerah dan
posisi-posisi tertentu. Ketika militer telah menempati posisi tersebut, mereka
tidak mengambil langkah lebih jauh yaitu dengan menguasai negara secara
keseluruhan. Militer China melaksanakan tugas sesuai apa yang diamanatkan oleh
Mao.
Militer China memiliki struktur komando
yang sangat hierarkis, seluruh unit di dalam militer China patuh terhadap
struktur tersebut[16].
Hal ini menunjukan segi loyalitas korps atau corporate loyalty militer
China.
Meskipun
demikian profesionalisme tidak begitu kuat untuk mencegah militer berada di
luar politik. Diperlukan budaya supremasi sipil yang kuat agar militer
benar-benar menghormati pemerintahan sipil dan tunduk pada pemerintahan
tersebut demi negaranya. Dan
ini hal ini juga dimiliki oleh militer di China. Seperti telah dijelaskan dalam
uraian bab sebelumnya, sepanjang sejarah China militer sangat tunduk terhadap
pemerintahan sipil. Tidak hanya dalam revolusi kebudayaan, banyak peristiwa
sebelumnya dimana militer China memiliki peluang untuk mengambil alih kekuasaan
namun tidak menggunakan peluang tersebut. Satu contoh yang jelas adalah apa
yang kita lihat ketika tahun 1954 dimana militer yang sebelumnya memerintah
administrasi daerah dalam masa transisi bersedia memberikannya kepada kontrol
sipil sesuai dengan konstitusi dan kembali ke barak. Dua hal ini,
profesionalisme dan budaya supremasi sipil, sangat berperan pada keteguhan
militer untuk tetap pada jalurnya ketika revolusi kebudayaan berlangsung.
Selain motif, faktor lain dari diri militer yang
berpengaruh adalah mood. Tidak ada definisi yang tepat untuk istilah ini, namun
kita dapat menyebutkan adanya dua eleven yang membuat militer ingin (induce the
mood) melakukan intervensi, yaitu kekuasaan yang berlebihan dan kemarahan.
Secara singkat, militer akan cenderung melakukan intervensi atau bahkan
mengambil alih kekuasaan ketika dalam negara tersebut pada waktu itu tidak ada
yang bisa menghalangi militer untuk berbuat semaunya. Militer juga cenderung
akan intervensi ketika mereka marah kepada pemerintahan sipil yang dinilai
gagal dalam mengelola negara. Kedua hal ini tidak terdapat pada militer China
saat revolusi kebudayaan berlangsng seperti telah kita bahas pada bagian lain
paper ini. Terdapat sesuatu yang mampu menghalangi militer China untuk bisa
dengan mudah mengambil alih kekuasaan ketika revolusi berlangsung, yaitu
kontrol ketat partai. Selain itu tidak ada kemarahan militer terhadap pemimpin.
Militer China justru masih sangat menghormati Mao Zedong sebagai sesepuh dan
pemimpin China saat itu. Dengan begitu lengkap sudah alasan mengapa militer
pada akhirnya tidak mengambil alih kekuasaan ketika revolusi terjadi.
Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab
terdahulu, dapat disimpulkan bahwa militer tidak mengambil alih kekuasaan
ketika revolusi berlangsung dikarenakan beberapa alasan yang dapat kita analisa
melalui teori Finner. Pertama, adanya kontrol partai yang kuat tidak hanya
terhadap militer tetapi juga semua aspek sosial masyarakat China membuat
militer tidak memiliki kesempatan yang bagus untuk bisa mengambil alih
kekuasaan. Terlebih kontrol partai ini semakn kuat ketika revolusi berlangsung.
Selain itu dari diri militer sendiri, tidak ada motif yang signifikan yang
membuat militer bersedia mangambil alih kekuasaan. Militer China terkenal
profesional dan memiliki budaya supremasi sipil yang kuat. Karisma seorang Mao
Zedong juga turur mempengaruhi ketundukan militer pada perintah sipil.
Kombinasi semua alasan ini cukup menjelaskan mengapa militer tidak memanfaatkan
peluang untuk mengambil alih kekuasaan ketika revolusi kebudayaan di
pertengahan tahun 1960an.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Li, Nan. Changes
in Chinese Civil Military Relations. Institute of Defence and Strategic Studies.
NTU. Singapore. http://www.idss.edu.sg
Nelsen, Harvey
W. (1977). The Chinese Military System: An Organizational Study of the Chinese
People’s Liberation Army. Colorado: Westview Press
The Transitional Work of Weber dalam
buku panduan mata kuliah Political Economy of Development. Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas
Gadjah Mada. 2009.
Wang, James C F. (1992). Contemporary
Chinese Politics: An Introduction, dalam buku panduan mata kuliah Politik dan
Pemerintahan Cina. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Gadjah
Mada.
Weatherley, Robert (2006). Politics
in China after 1949: Legitimizing Authoritarian Rule. New York: Routledge
Ye Weili dan Ma Xiaodong (2005). Growing
Up in the People’s Republic. New York: Palgrave McMillan
Sumber
Internet:
http://www.globalsecurity.org/military/china,
diakses pada 27 Februari 2009, 09.16
[2] Profil
dan data singkat mengenai militer China dapat dilihat dilampiran
[3] B.M
Sapin dan R.C.Snyder, The Role of the Military in American Foreign Policy,
p.52 dalam S.E. Finer, The Man on Horseback: The Role of Military in
Politics, New York: Frederick A. Pragaer, Inc.
[4]
James C F. Wang (1992), Contemporary Chinese Politics: An Introduction, dalam
buku panduan mata kuliah Politik dan Pemerintahan Cina, Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Gadjah Mada.
[5] Robert
Weatherley. 2006. Politics in China after 1949: Legitimizing Authoritarian
Rule. New York: Routledge. Halaman. 60
[6]
Harvey W. Nelsen (1977), The Chinese Military System: An Organizational Study
of the Chinese People’s Liberation Army, Colorado: Westview Press. Halaman
25-26.
[7] Sebagian
besar bagian ini diambil dari Harvey W. Nelsen (1977), The Chinese Military
System: An Organizational Study of the Chinese People’s Liberation Army,
Colorado: Westview Press. Halaman 27-29
[8]
Nan Li, Changes in Chinese Civil Military Relations, Institute of Defence and
Strategic Studies, NTU, Singapore, http://www.idss.edu.sg
[9] Robert
Weatherley. 2006. Politics in China after 1949: Legitimizing Authoritarian
Rule. New York: Routledge halaman. 44
[10] Ibid
hal. 43
[11] Ibid
hal. 45
[12] Ye
Weili dan Ma Xiaodong. 2005. Growing Up in The People’s Republic. New
York: Palgrave McMillan hal. 134
[13] Robert
Weatherley. Op Cit. hal. 47
[14] The
Transitional Work of Weber dalam buku panduan mata kuliah Political Economy of
Development. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Universitas Gadjah Mada. 2009
[16]
Struktur militer China dapat di Bagan III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar