ETIKA BISNIS
Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern
1. Bisnis modern merupakan realistas yang yang amat
kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Guna
menjelaskan kekhususan aspek etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita membandingkan
dulu dengan aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi dan hukum. Sebab, bisnis
sebagai kegiatan social dapat disoroti sekurang kurangnya dari tiga sudut
pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan ini : sudut pandang
ekonomi, hokum, dan etika.
1.1. Sudut pandang
ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah
tukar-menukar, jual-beli, memproduksimemasarkan, bekerja-memperkerjakan, dan
bertinteraksi dengan orang lain lainnya, dengan maksud memperoleh untung.
Dipandang dari sudut ekonomis, good bussines atau bisnis yang baik adalah
bisnis yang membawa banyak untung. Orang bisnis selalu akan berusaha membuat
bisnis yang baik (dalam arti itu).
1.2. Sudut pandang
moral
Disamping aspek ekonomi dari bisnis, di sini tampak aspek lain : aspek
moral. Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga perilaku
ekonomis. Tidak semuanya bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita (di
bidang bisnis : mencari keuntungan) boleh kita lakukan juga. Kita harus
menghormati kepentingan dan hak orang lain. Bisnis yang baik (good bussines)
bukan saja bisnis yang baik secara moral .
1.3. Sudut pandang
hukum
Tidak diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum
bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dari segi norma, hukum
lebih jelas dan pasti dibandingkan etika. Karena hukum dituliskan hitam atas
putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran. Hukum dan etika kerap
kali tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal yang
diatur oleh hukum tidak mempunyai hubungan langsung dengan etika. Tetapi ada
juga ada perilaku dalam segi moral penting, tetapi tidak diatur menurut hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentupenting. Bisnis harus menaati hukum dan
peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik” antara lain berarti juga bisnis yang
patuh pada hukum. Disamping hukum, kita membutuhkan etika juga. Kita memerlukan
norma moral yang menetapkan apa yang etis dan tidak etis untuk dilakukan. Pada
taraf normatif etika mendahului hukum. Jika secara moral suatu perilaku
ternyata salah, kemungkinan besar (walaupun tidak pasti) perilaku itu melanggar
hukum juga.
1.4. Tolak ukur untuk
tiga sudut pandang ini
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good bussines, tingkah laku bisnis
harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi. Memang benar bisnis
yang ekonomis tidak baik (jadi, tidak membawa untung) tidak pantas disebut
bisnis yang baik. Bisnis tidak pantas disebut good bussines kalau tidak baik
dari sudut pandang etika dan hukum juga. Dalam hal ini penting aspek hukum
lebih mudah diterima, sekurang-kurang pada taraf teoritis (walaupundalam
praktek barangkali sering dilanggar).
2. Apa itu Etika
Bisnis
– Etika sebagai praksis berarti : apa yang dilakukan
sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
– Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika
sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang
apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
– Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya
manusia. Karena itu etika dalam arti ini disebut juga “filsafat parktis”.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga
taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga
kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegitan ekonomi dan bisnis.
– Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek
moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
– Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis
menyelidiki masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini terutama
berarti perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan
profesi dan lain-lain.
– Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah individu dalam
hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis
dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok
dan investor.
3. Perkembangan
etika bisnis
Sepanjang sejarah, kegiatan perdaganga atau bisnis tidak pernah luput dari
sorotan etika. Namun demikian, jika kita menyimak etika bisnis sebagaimana
dipahami dan dipraktekkan sekarang, tidak bisa disangkal juga, di sini kita
menghadapi suatu fenomena baru. Belum pernah dalam sejarah, etika bisnis
mendapat perhatian besar intensif seperti sekarang ini.
Etika bisnis dalam arti khusus ini pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam
tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke kawasan dunia lain.
4. Profil etika
bisnis dewasa ini
Kini etika bisnis sudah mempunyai status ilmiah yang serius. Ia semakin
diterima di antara ilmu-ilmu yang sudah mapan dan memiliki ciri-ciri yang
biasanya menandai sebuah ilmu.
5. Faktor sejarah
dan budaya dalam etika bisnis
Jika mempelajari sejarah, dan khusunya dunia barat, sikap positif ini tidak
selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad-abad lamanya
terdapat tedensi yang cukup kuat memandang bisnis atau perdagangan sebagai
kegiatan yang tidak pantas dilakukan bagi manusia beradab. Orang seperti
pedagang jelas-jelas dicurigakan kualitas etisnya. Sikap negative ini
berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar
waktu industrial.
6. Kritik atas
etika bisnis
6.1. Etika bisnis
mendiskriminasi
Kritik
pertama kali ini lebih menarik karena sumbernya daripada isinya. Sumbernya
adalah Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen. Tuduhan
Drucker tidak beralasan. Sekali-kali tidak benar bahwa etika bisnis
memperlakukan bisnis dengan cara lain ordinary folk (orang biasa). Kritiknya
berasal dari salah paham besar terhadap maksud etika bisnis. Justru karena
orang bisnis merupakan ordinary folk (orang biasa). Justru orang bisnis
merupakan ordinary folk, mereka memerlukan etika. Sebagaimana semua orang lain,
para pebisnis merupakan pelaku moral.
Etika bisnis menjadi suatu ilmu dengan identitas tersendiri, bukan karena
norma-norma yang tidak berlaku di bidang lain, melainkan karena aplikasi
norma-norma yang umum atas suatu wilayah kegiatan manusiawi yang minta perhatian
khusus, sebab keadaannya dan masalah-masalahnya mempunyai corak tersendiri.
6.2. Etika bisnis itu
kontradiktif
Kritik lain tidak berasal dari satu orang, tetapi ditemukan dalam kalangan
popular yang cukup luas. Sebenarnya bukan kritik, melainkan skepsis.
Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai suatu usaha yang naïf.
6.3. Etika bisnis
tidak praktis
Tidak ada kritik atas etika bisnis yang menimbulkan begitu banyak rekasi
seperti artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review pada tahun 1993
dengan judul “What’s the matter with business ethics?”. Pengarangnya adalah
Adrew Stark, seorang dosen manajemen di Universitas Toronto, Kanada. Ia
menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para
professional di bidang manajemen.
6.4. Etikawan tidak
bisa mengambil alih tanggung jawab
Kritikan lain lagi dilontarkan kepada etika terapan pada umumnya, termasuk
juga etika bisnis, di samping etika biomedis, etika jurnalistik, etika profesi
hukum dan lain-lain. Kritisi meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian
etis khusus, yang tidak dimiliki oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri.
Seluruh kritikan ini juga berdasarkan salah pahan. Etika bisnis sama sekali
tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis pebisnis, para manajer, atau
pelaku moral lain di bidang bisnis. Etika bisnis bisa membantu untuk mengambil
keputusan moral yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi tidak berniat mengambil
tempat dari para pelaku moral dalam perusahaan.
Teori Etika
Etika bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip
etika yang umum pada wilayah pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi
dan bisnis. Secara konkret etika sering terfokuskan pada perbuatan. Bisa
dikatakan juga bahwa teori etika membantu kita untuk menilai keputusan etis.
Akan tetapi, setiap penguraian macam ini terbentur pada kesulitan bahwa
kenyataanya pada teori etika. Di sini akan dibahas secara singkat beberapa
teori yang dewasa ini paling penting dalam pemikiran moral, khususnya dalam
etika bisnis.
1. Utilitarisme
“Utilitarisme” berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan. Dapat dipahami pula utilarisme sangat menekankan
pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan.
Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi diri dari pada
justifikasi aturan-aturan moral. Dengan demikian mereka memang dapat
menghindari kesulitan dari utilitarisme perbuatan.
2. Deontologi
Istilah Deontologi (deontology) ini berasal dari kata Yunani deon yang
berarti kewajiban. Maka deontology melepaskan sama sekali moralitas dari
konsekuensi perbuatan. Utilitarisme mementingkan konsekuensi perbuatan,
sedangkan deontology konsekuensi perbuatan tidak berperan sama sekali.
3. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan
yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan
atau perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori
dentiologi, karena berkaitan dengan kewajiban.
4. Teori keutumaan
Apa yang dimaksud dengan keutamaan?keutamaan bisa didefinisikan sebagai
berikut: diposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia
untuk bertingkah laku baik secara moral. Ada banyak keutamaan dan semua
keutamaan dan semua keutamaan untuk setiap orang dan untuk setiap kegiatan.
Diantara keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan bisa disebut:
kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan.
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang
harus dimiliki oleh pelaku bisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran
tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis, bahkan kalau penipuan
sebenarnya gampang. Perlu diakui, tentang keutamaan kejujuran kadang-kadang ada
kesulitan juga. Garis perbatasan antara kejujuran dan ketidakjujuran tidak
selalu bisa ditarik dengan tajam.
Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan “keadilan” dan memang fairness
dekat dengan paham “keadilan” tapi tidak sama juga. Barangkali terjemahan yang
tidak terlalu meleset adalah: sikap wajar. Fairness adalah kesediaan untuk
memberikan apa yang wajar kepada semua orang dengan semeua orang dan dengan
“wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua orang yang terlibat
dalam suatu transaksi.
Kepercayaan (trust) juga adalah keutamaan yang pentng dalam konteks bisnis.
Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbale balik. Ada beberapa cara
untuk mengamankan kepercayaan. Salah satu cara ialah member garansi atau
jaminan.
Keutamaan keempat adalah keuletan (Solomon menggunakan kata toughness). Pebisnis
harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan
negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai
besar. Ia harus berani juga mengambil risiko kecil ataupun besar, karena
perkembangan banyak faktor tidak bisa diramalkan sebelumnya.
Kelompok keutamaan lain menandai orang bisnis pada taraf perusahaan. Dengan
kata lain, keutamaan-keutamaan ini dimiliki manajer dan karyawan sejauh mereka
mewakili perusahaan. Keempat keutamaan ini adalah: keramahan, loyalitas,
kehormatan, dan rasa malu.
Keutamaan sebenarnya lebih cocok untuk digambarkan secara konkret daripada
diuraikan pada taraf teoritis. Dalam filsafat dewasa ini dikenal pendekatan
yang sering disebut “naratif”. Artinya, kebenaran filosofis yang mau dibicarakan,
tidak diuraikan secara teoretis, melainkan dikisahkan dalam suatu contoh atau
kasus konkret. Dibandingkan dengan teori-teori lain, teori keutamaan mempunyai
kelebihan lagi, karena memungkinkan untuk mengembangkan penilaian etis yang
lebih etis. Teori-teori yang didasarkan atas aturan, pada umumnya cenderung
menilai perbuatan-perbuatan dari segi negative, artinya mereka terutama
menyoroti yang tidak etis.
EKONOMI DAN KEADILAN
1. Hakikat keadilan
Keadilan dapat diartikan sebagai to give everybody his own (memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).
Ciri khas keadilan :
a. Keadilan tertuju pada orang lain
b. Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan
c. Keadilan menuntut persamaan (equality)
2. Pembagian
keadilan
Pembagian keadilan menurut Thomas Aquinas (1225-1274) yang mendasarkan
pandangan filosofisnya atas pemikiran Aristoteles (384-322 SM) disebut
juga pembagian klasik, membedakan keadilan menjadi :
a. Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini
para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa
yang menjadi haknya.
b. Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan
keadilan ini negara (pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang sama
kepada para anggota masyarakat.
c. Keadilan Komutatif (commutative justice) : berdasarkan
keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi
haknya.
Pembagian keadilan yang dikemukakan oleh pengarang modern tentang etika bisnis,
khususnya
John Boatright dan Manuel Velasquez
dapat dibedakan menjadi :
a. Keadilan Distributif (distributive Justice)
b. Keadilan Retributif (retributive justice) : berkaitan
dengan terjadinya kesalahan
c. Keadilan Kompensatoris (compensatory justice) : berdasarkan
keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau
ganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan
Disamping pembagian tersebut, keadilan juga dapat dibedakan menjadi keadilan
sosial dan keadilan individu
3. Keadilan
distributif pada khususnya
Dalam teori etika modern, ada dua macam prinsip untuk keadilan distributif,
yaitu : prinsip formal dan prinsip material. Prinnsip formal yang dirumuskan
dalam bahasa Inggris berbunyi “equals ought to be treated equally and unequals
may be treated unequals”. Yang dapat diartikan bahwa kasus-kasus yang sama
harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama
boleh saja diperlakukan dengan cara yg tidak sama. Sedangkan prinsip material
menunjukkan kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk
membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Beauchamp dan
Bowie menyebut enam prinsip keadilan distributif terwujud apabila diberikan
kepada setiap oraang dengan syarat :
a. Bagian yang sama
b. Sesuai dengan kebutuhan individualnya
c. Sesuai dengan haknya
d. Sesuai dengan usaha individualnya
e. Sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
f. Sesuai dengan jasanya
Berdasarkan prinsip material tersebut, telah dibentuk beberapa teori keadilan
distributif. Antara lain :
a. Teori egalitariasme (membagi dengan adil berarti membagi
rata)
b. Teori sosialistis (membagi adil sesuai dengan kebutuhan
individualnya)
c. Teori liberalistis
Liberalisme dan Sosialisme sebagai Perjuangan
Moral
1. Tinjuan historis
1.1. John Locke dan milik pribadi
John Locke (1623-1704), seorang filsuf inggris yang banyak mendalami
masalah-masalah social politik, secara umum diakui sebagai orang yang pertama
kali mendasarkan teori liberalisme tentang milik. Menurut Locke, manusia
mempunyai tiga “hak kodrat: (natural right): “life, freedom, and property”.
Yang penting adalaha hak atas milik karena keidupan dan kebebasan kita miliki
juga. Jadi, hak atas milik menyedia pola untuk memahami kedua hak lain juga.
Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang milik di kemudian
hari.
Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa cirri kapitalisme liberal yang
dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx. Pertama, Locke mengandaikan begitu
saja bahwa pekerjaan pun harus diukur atas dasar nilai tukarnya, artinya
sebagai komoditas pasaran. Kedua, Locke mengandaikan juga bahwa hasil kerja
karyawan menjadi milik sah dari pemilik tanah atau pemilik sarana produksi.
1.2. Adam Smith dan pasar bebas
Tokoh lain yang pantas dibahas dalam rangka liberalism adalah orang Skotlandia,
Adam Smith (1723-1790). Adam Smith menjadi terkenal karena dengan gigih membela
pasar brbas di bidang ekonomi. Adam Smith tentu bukan filsuf pertama yang membedakan
antara kepentingan-diri dan egoisme, tapi ia melihat pentingnya khusus untuk
relasi-relasi ekonomis. Kepentingan diri merupakan motIvasi utama yang
mendorong kita untuk mengadakan kegiatan ekonomis.
Kegiatan ekonomis di pasar bukan saja menguntungkan bagi pihak-pihak yang
langsung terlibat di dalamnya, tetapi bermanfaat juga untuk masyarakat sebagai
keseluruhan. Smith menekankan bahwa dengan mengejar kepentingan diri
masing-masing dalam sistem pasar para anggota masyarakat mewujudkan
kesejahteraan umum yang paling besar.
1.3. Marxisme dan kritiknya atas milik pribadi
Yang dimaksud dengan marxisme adalah pemikiran Karl Marx (1818-1882) bersama
dengan teman seperjuangannya, Friedrich Engels (1820-1895). Marxisme adalah
ajaran social-ekonomis-politik yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk
disingkatkan tanpa mengorbankan cukup banyak unsure yang sebenarnya hakiki
juga. Bisa dikatakan juga marxisme menolak pemilikan pribadi atas capital atau
modal, sebab yang memiliki capital dengan sendirinya memilki juga sarana-sarana
produksi. Ciri kapitalisme yang jelek adalah bahwa mereka memperkerjakan orang
lain untuk memperkaya diri sendiri. Menurut Marxisme, lembaga pribadi pada
dasarnya merupakan penindasan atau eksploitasi kaum pekerja. Di sini dengan jelas
tampak inspirasi etis dari marxisme. Tujuannya bukan menghapus milik pribadi
begitu saja, melainkan secara radikal menentang penindasan atau eksploitasi
yang berasal dari pemilikan eksklusif atas sarana-sarana produksi. Menurut
mereka, cara pemilikan itu harus diganti dengan sistem milik kolektif.
2. Pertentangan dan
perdamaian antara liberalism dan sosialisme
2.1. Liberalisme
Inti pemikiran liberalism adalah tekanannya pada pada kebebasan individual
(liber Lat.=bebas). Tugas pokok Negara menurut pandangan liberalism secara
klasik dilukiskan sebagai nighwatch state, “Negara jaga malam”, karena Negara
hanya membatasi diri pada perlindungan dan pengamanan para warga Negara.
2.2. Sosialisme
“Sosialisme” berasal dari kata Latin socius yang berarti “teman” atau
“kawan”. Sosialisme memandang manusia sebagai makhluk social sebagai sesame
yang hidup bersama orang lain. Liberalisme lebih cenderung melihat manusia
sebagai individu yang mempunyai kebebasan masing-masing. Masyarakat yang diatur
secara liberalism ditandai egoism, sedangkan masyarakat yang diatur secara
sosialistis atau kesetiakawanan.
a. Sosialisme
komunistis
Sosialisme
komunistis atau komunisme (communis Lat.=bersama) menolak milik pribadi.
Menurut mereka, milik harus menjadi milik bersama atau milik kolektif. Tetai,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Karl Marx tidak menolak semua milik pribadi.
Marx dan pengikut-pengikutnya membedakan antara pemilikan barang konsumsi dan
pemilikan sarana-sarana produksi. Barang konsumsi adalah barang yang dipakai
oleh seseorang bersama dengan keluarganya, seperti rumah, kendaraan, fasilitas
olah raga, koleksi buku dan lain sebagainya. Yang tidak boleh menjadi milik
pribadi adalah sarana-sarana produksi, seperti pabrik.
b. Sosialisme
demokratis
Sosialisme
demokratis juga menempatkan masyarakat di atas individu. Tetapi berbeda dengan
komunisme, mereka tidak bersedia mengorbankan sistem pemerintahan demokratis
yang mereka anggap sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga.
2.3. Kekuatan dan
kelemahan
Kekuatan lliberalisme adalah bahwa milik pribadi diakui sebagai cara
penting untuk mewujudkan kebebasan pribadi. Tetapi liberalisme juga mempunyai
kelemahan. Kelemahannya yang utama adalah bahwa mereka kurang memperhatikan
nasib kaum miskin dan orang kurang beruntung dalam perjuangan hidup, seperti
kaum buruh dalam masyarakat berindustri.
Kekuatan Sosialisme adalah mereka menemukan dimensi transindividual dari milik.
Milik selalu mempunyai suatu fungsi social dan tidak boleh dibatasi pada
kepentingan pribadi saja.Tetapi, sosialisme mempunyai juga kelemahan dan
kelemahan itu terasa cukup besar, bahkan menjadi fatal untuk sistem
pemerintahan sosialistis. Ekonomi yang direncakan dengan ketat dari atas
ternyata tidak bisa berhasil.
3. Kapitalisme dan
demokratisasi
Demokratisasi dalam ekonomi dijalankan secara kapitalistis di Negara-negara
industry Barat merupakan fenomena yang sangat menarik. Pertama, sistem
pemerintahan demokratis berhasil mengoreksi beberapa ekses kapitalisme. Kedua,
antagonism antara kelas-kelas seperti dimengerti marxisme, dalam sistem
pemerintahan demokratis cukup teratasi. Kaum pekerja tidak lagi berpolarisasi
dengan kau majikan karena mereka menyadari mempunyai banyak kepentingan
bersama. Ketiga, fenomena yang barangkali menarik adalah pemilikan sarana
produksi yang semakin merata.
4. Etika pasar
bebas
Pandangan Gauthier yang pernah mengemukakan pendapat bahwa pasar tidak
membutuhkan moralitas. Pasar sempurna dimaksudkan pasar di mana kompetisi
berjalan dengan sempurna. Pada kenyataanya, proses-proses di pasaran selalu
disertai macam-macam kegagalan dan kekurangan. Namun demikian, sistem pasar
bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap merupakan sistem ekonomi yang paling
unggul. Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama tampak dari dua segi.
Pertama dari segi keadilan social, supaya kepada semua peserta dalam kompetisi
di pasar diberikan kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar bebas etika
sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar kompetisi berjalan dengan baik dari sudut
moral. Semua peserta dalam pasar bebas harus berlaku dengan fair.
Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan
Kuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Frngan cara
sederhana atapi cuup jelas, bisnis sering dilakukan sebagai “to provide product
or sevices for profit”. Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan
ekonomis menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan
kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuntungan. Profit selalu berkaitan dengan
kegiatan ekonomi, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Karena hubungan dengan uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung
dalam konteks kapitalisme. Keterkeikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu
alas an khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika.
Tentu saja, organisasi yang non for profit pun pasti sewakt waktu berurusan
dengan etika.
1. Maksimalisasi
keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal
Profit maximimization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting
dalam ilmu manajemen ekonomi. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi
satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang
tidak etis. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan itu, semua karyawan
dikerahkan dan dimanfatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan
yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi memperalat karyawan karena alasan
apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Studi sejarah
menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomi memang
bisa membawa akibat kurang etis.
2. Masalah pekerja
anak
Tidak perlu diragukan, pekerja yang dilakukan oleh anak (child labor)
merupakan topic dengan banyak implikasi etis, tetai masalah ini sekaligus juga
sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan dengan aneka
macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya dan social.
Dalam Convention on the Right of the Child yang diterima dalam siding umum PBB
pada 1989 siserahkan pada masing-masing Negara anggota untuk”menetapkan usia minimum
atau usia rata-rata minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [Pasal
32,2(a)].
Yang dianggap pekerjaan yang dilakukan anak dianggap tidak etis karena pertama,
adalah pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak itu belum dewasa karena itu
harus diperlakukan begitu pula. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum
bebas atau sanggup menjalankan kebebasannya. Lagipula, anak yang bekerja tidak
mendapat pendidikan di sekolah dan karena itu mereka dirugikan untuk seumur
hidup. Oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melangar juga hak
anak, karena mengekploitasi tenaga mereka.
Alasan kedua menegaskan bahwa memperkejakan anak merupakan cara berbisnis yang
tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya
produksi dan dengan melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap
rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap
hal itu cara berproduksi yang tidak etis.
Bagaimana cara kita mengatasi masalah tersebut? Yang pertama: kesadaran dan
aksi dari pihak public konsumen. kedua adalah kode etik yang dibuat dan
ditegakkan juga oleh perusahaan dimana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan
tidak akan mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkan tenaga anak di
bawah umur. Yang ketiha melengkapi garmen atau produk lain dengan No Sweat
Label, yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan menggunakan tenaga anaka
atau dengan kondisi kerja yang tidak pantas.
3. Relativasi
keuntungan
Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan
keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu-satunya
yang menentukan sukses dalam bisnis, perdagangan heroin, kokain, atau obat
terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business, karena sempat membawa
untung yang sangat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung
dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Di satu pihak perlu diakui, bisnis
tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Dengan demikian dan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan relativitas
keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga, keuntungan dalam
bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi
keuntungan merupakan tujuan bisnis atau profit merupakan satu-satunya tujuan
bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan
dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya adalah sebagai berikut :
a. Keuntungan merupak tolak ukur untuk menilai kesehatan
perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;
b. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukaan bahwa produk
atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
c. Keuntungan dalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d. Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e. Keuntungan mengimbangi risiki dalam perusahaan.
4. Manfaat bagi
stakeholder
Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan
dengan suatu bisnis atau perusahaan. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai
terjemahan “pihak yang berkepentingan” Stakeholder adalah semua pihak yang
berkepntingan yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockholder
tentu termasuk Stockholders.
Kadang-kadang stakeholders dbagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan
eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu
perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan
perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan
eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang yang tidak secara
langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat,
pemerintah lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan
perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua
stakeholder.
KESIMPULAN
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada
tiga taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga
kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegitan ekonomi dan bisnis.
a. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek
moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
b. Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki
masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini terutama berarti
perusahaan, tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi
dan lain-lain.
c. Pada taraf mikro, yang difokuskan adalah individu dalam hubungan
dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis dari
karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok dan
investor.
Jadi Etika Bisnis adalah penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada wilayah
pelaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis. Secara konkret
etika sering terfokuskan pada perbuatan. Bisa dikatakan juga bahwa teori etika
membantu kita untuk menilai keputusan etis.
Memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya atau bisa disebut
Keadilan yang mana dibagi:
1. Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini
para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa
yang menjadi haknya.
2. Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan
keadilan ini negara (pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang sama
kepada para anggota masyarakat.
3. Keadilan Komutatif (commutative justice) : berdasarkan
keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi
haknya.
Liberalisme dan sosialisme yang merupakan awal dari perjuangan moral bagi
setiap individu maupun masyarakat dalam hal ini kelompok, diharapkan semua
individu maupun kelompok dapat beraktivitas secara maksimal dalam
memenuhi kebutuhan mereka masing- masing yang mana telah telah diatur
undang-undangnya akan hal itu. sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang
tetap merupakan sistem ekonomi yang paling unggul. Pentingnya etika dalam
semuanya ini terutama tampak dari dua segi. Pertama dari segi keadilan social,
supaya kepada semua peserta dalam kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang
sama. Kedua, dalam konteks pasar bebas etika sangat dibutuhkan sebagai jaminan
agar kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua peserta dalam pasar
bebas harus berlaku dengan fair.
Profit atu keuntungan selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana kedua
belah pihak menggunakan uang.Karena hubungan dengan uang itu, perolehan profit
secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Keterkaitan dengan
keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan
dari sudut pandang etika dalam melakukan bisnis.